Perjuangan Hidup Korban Erupsi Merapi

Jalan beraspal menuju ujung Dukuh Kinahrejo itu ditutup portal besi. Portal itu diberi dua warna, hitam, dan putih. Di tengahnya diberi piringan bulat dengan garis merah. Itu berarti, setiap pengunjung dilarang masuk dengan membawa kendaraan pribadi.

“Enggak boleh masuk bawa motor mas. Harus sewa ojek,” kata Warsito, salah satu petugas pos kepada hidayatullah.com.

Kebijakan itu, kata Warsito, dibuat untuk membantu perekonomian warga Kinahrejo pascaerupsi. Sebab, warga tak lagi memiliki harta benda. Harta mereka banyak yang ludes dilahap wedhus gembel. “Jasa ojek sekali antar bolak-balik 20- 30 ribu. Boleh lebih kalau mau sedekah,” paparnya.

Kendati cukup mahal, tapi banyak pengunjung yang menggunakan jasa tersebut. Saat itu saja, banyak yang menggunakannya. “Saya mau naik ke atas pak, ke bekas rumah Mbah Maridjan,” kata salah satu pengunjung.

Dengan pengeras suara, Warsito kemudian memanggil tukang ojek yang sejak tadi mangkal tak jauh dari situ. Jumlah mereka cukup banyak.

“Ojek dua orang,” katanya. Hanya dalam hitungan menit, dua orang ojek langsung datang dan membawa keduanya. Tak lama kemudian, mereka hilang di tikungan jalan hingga akhirnya sampai ke ujung jalan Kinahrejo.

Pascaerupsi, Kinahrejo memang tak sepi pengunjung. Apalagi di hari Sabtu-Minggu, pengunjung mencapai 1500 lebih. Mereka datang dari berbagai tempat, baik lokal maupun luar daerah. Tapi, menurut Warsito, lebih banyak pengunjung domestik.

Ketertarikan masyarakat terhadap Kinahrejo dimanfaatkan masyakat Kinahrejo dijadikan kawasan wisata. Seperti di atas portal itu dipasang spanduk bertuliskan: “Mohon doa restu atas dibukanya wisata alam jelajah Kinahrejo”.

Di situ juga ditulis beberapa fasilitas: kuda lumping, motor trail, souvenir, penanaman pohon, dan resto Kinahrejo. Bagi pengunjung yang berminat salah satunya, tinggal merogoh kocek saja.

Warsito mengatakan, pascaerupsi Merapi, warga Kinahrejo kehilangan harta benda. Bahkan, tak jarang yang hanya punya baju di badan. Sekarang mereka tinggal di shelter penampungan. Karena itu, katanya, masyarakat sebisa mungkin memanfaatkan sarana yang ada.

Warga Kinahrejo boleh dibilang kreatif. Mereka melakukan inovasi menarik dalam mengais rezeki untuk memperjuangkan hidup mereka. Kini, mereka membuka warung kecil-kecilan di sepanjang jalan Kinahrejo. Mereka menjual aneka makanan khas Kinahrejo dan beberapa souvenir.

Bahkan, ada yang melakukan trobosan baru: membuat menu dengan nama erupsi. Seperti yang dilakukan sebuah resto Kinahrejo yang terletak berhadapan dengan pos masuk itu. Resto yang di desain natural ini menyediakan menu nyeleneh. Ada nasi goreng vulkanik, gudeg kinah, soto awan panas, dan kopi poci gembel. Pokoknya semuanya bernuansa kegunungan.

Setelah tahu wartawan, akhirnya Warsito mengizinkan penulis masuk dengan gratis. Tapi, penulis memilih berjalan kaki sambil mengambil foto dan mewawancarai para pedagang yang mangkal di sepanjang jalan.

Menyusuri jalan Kinahrejo memberi kesan tersendiri. Apalagi ditemani udara dingin yang menusuk kulit. Kabut tipis juga sesekali turun. Selain itu, kendati erupsi terjadi November lalu, tapi bekasnya masih tampak jelas.

Bukit yang berderet menjulang kini gundul. Pepohonan yang dulu rindang dan hijau yang  membuat sejuk Kinahrejo, kini tak ada lagi. Berganti tanah gundul yang ditutupi sebagian pasir. Karena itu, sejauh pandangan mata, hanya gerombolan bukit tanpa pohon.

Begitu juga jika melihat rumah-rumah di sepanjang jalan menuju Kinahrejo, rusak parah. Bahkan tidak sedikit tinggal puing-puing pondasi saja. Hampir semuanya rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Karena itu, sejak erupsi, warga meninggalkan rumah mereka dan memilih tinggal di shelter pengungsian. Tak heran, jika melintasi Kinahrejo sepintas seperti desa mati. Tak ada kehidupan masyarakat.

Beberapa menit kemudian, di sebuah tikungan jalan penulis menjumpai Ngatiyah. Warga asal Pangokrejo, Cangkringan ini sedang menunggu pengunjung yang membeli barang dagangannya. Agar terlindungi dari hujan dan panas, Ngatiyah memakai taping. Payung juga ia siapkan jika hujan tiba-tiba datang.

“Mari mas, mampir,” pintanya. Ngatiyah menjual minuman mineral dan suplemen. Ada juga makanan ringan dan CD erupsi merapi. “Untuk menyambung hidup, sehari-hari saya berjualan ini,” katanya.

Hal itu dilakukan perempuan berkulit gelap ini karena tidak punya pilihan lagi. “Saya tak punya apa-apa lagi. Enam sapi dan lainnya habis kena erupsi,” paparnya. Jika ditotal seluruhnya, kata Ngatiyah, ludesnya ratusan juta rupiah. Ngatiyah sendiri kini tinggal di shelter bersama pengungsi lainnya.

Dari jualan itu, ia kadang meraup untung Rp 20 ribu per harinya. “Ya sedikit asal bisa buat makan,” tutur ibu dua anak ini.

Ia pun harus berjuang sendiri. Pasalnya, suami dan kedua anaknya hingga kini masih nganggur. “Mereka belum dapat kerja,” paparnya.

Meski erupsi sudah berlalu, tapi perasaan trauma masih ada. Ia pun kerap takut jika ada getaran lagi. Kendati demikian, ia ingin membangun kembali rumahnya yang rusak. “Enggak betah tinggal di shelter mas. Susah kalau mau ngapa-ngapain,” jelasnya. Karena itu, ia minta agar dibangunkan rumah. “Mas mau bantu bikin rumah, ta?” katanya bercanda.

Penulis hanya diam sambil mendoakan. “Insya Allah rezeki Allah luas,” jawab penulis sambil berkata dalam hati: “Andai saya punya rezeki melimpah, insya Allah ibu ini akan saya bantu membangun rumahnya kembali”.*

Tinggalkan komentar